Hukum pajak adalah cabang hukum publik yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warga negara terkait kewajiban perpajakan.
Bentuk kontribusi warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah dengan membayar pajak. Kontribusi ini bersifat wajib dan memaksa berdasarkan peraturan yang berlaku.
Bahkan dalam membayar pajak diatur dalam Undang Undang DAsar 1945 Pasal 23A yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Pengertian Hukum Pajak
Dalam praktiknya, hukum pajak juga memiliki keterkaitan dengan hukum privat, terutama dalam hal yang menyangkut perjanjian, warisan, dan kekayaan. Oleh karena itu, hukum pajak berfungsi sebagai landasan untuk membangun sistem perpajakan yang adil dan efisien.
Fungsi dan Pentingnya Hukum Pajak
Hukum pajak memiliki beberapa fungsi utama, yaitu:
- Sebagai Acuan Pemungutan Pajak: Hukum pajak menentukan siapa subjek dan objek pajak, serta besaran tarif yang harus dibayar.
- Menjamin Keadilan Pajak: Dengan adanya peraturan, hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak dapat berjalan harmonis.
- Menyediakan Kepastian Hukum: Hukum pajak melindungi hak dan kewajiban wajib pajak, serta mengatur sanksi bagi pelanggaran pajak.
Jenis Hukum Pajak
Hukum pajak dibagi menjadi dua kategori utama:
- Hukum Pajak Materil Mengatur norma-norma tentang siapa subjek pajak, objek pajak, dan tarif pajak yang berlaku. Contohnya:
- Pajak Penghasilan (PPh)
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
- Hukum Pajak Formal Mengatur prosedur pelaksanaan hukum pajak materil, seperti pelaporan, penagihan, dan penyelesaian sengketa pajak. Contohnya:
- UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
- UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
Wajib pajak yang membayar pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung, karena pajak yang dibayarkan akan digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.
Siapakah yang dikatakan wajib pajak?
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk sebagai pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak.
Di lingkup perpajakan ini, pemerintah selaku penyelenggara negara mempunyai wewenang atau hak untuk mengambil dan atau menerima kekayaan seseorang dan kemudian menyerahkan kembali kekayaan yang diambil atau diterimi tersebut kepada masyarakat melalui kas negara.
Dalam proses tersebut tentulah diperlukan berbagai macam rangkaian peraturan agar hubungan pemerintah yang menjadi penyelenggara negara sebagai pemungut dan penerima pajak, dengan rakyat sebagai pembayar pajak berjalan dengan baik. Dengan kata lain harus adanya payung hukum yang mengatur tentang perpajakan yang disebut dengan hukum pajak.
Selain sebagai acuan dalam membentuk sistem perpajakan, hukum pajak juga berfungsi menentukan subjek dan objek pajak dalam proses pemungutan pajak.
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, karena mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara. Namun demikian hukum pajak juga berkaitan dengan hukum privat, karena hukum pajak ada yang berhubungan dengan materi perdata, seperti adanya perjanjian-perjanjian, warisan, kekayaan, dan yang terkait pendapatan atau penghasilan. Jadi hukum pajak tidak dapat berdiri sindiri, karena tidak semua istilah atau definisi yang diatur khusus dalam hukum pajak itu.
Sanksi Pajak
Dalam bidang perpajakan, ada beberapa jenis sanksi yang bisa dikenakan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran pajak.
- Pertama, Sanksi Bunga. Sanksi biasanya dikenakan kepada wajib pajak yang terlambat membayar pajak. Besarnya bunga yang harus dibayarkan tergantung pada pelanggaran yang dilakukan wajib pajak dan lama waktu keterlambatan dalam pembayaran pajak.
- Kedua, Sanksi Denda. Sanksi ini terkait dengan kewajiban pelaporan oleh wajib pajak. Besaran denda yang dikenakan bervariasi, tergantung jenis kesalahan dan wajib pajak mana yang melakukan kesalahan. Contohnya wajib pajak lupa melaporkan SPT pajaknya, maka sanksi denda bisa dikenakan kepada mereka. Bagi wajib pajak orang pribadi yang tidak melaporkan SPT tahunan dikenakan denda Rp. 100.000,-, sedangkan bagi badan/perusahaan yang telat melaporkan SPT tahunannya dikenakan denda sebesar Rp1.000.000,-.
- Ketiga, Sanksi Kenaikan. Biasanya sanksi ini lebih besar dari pada sanksi bunga dan denda. Sanksi ini diberikan kepada wajib pajak yang memberikan informasi salah.
- Keempat, Sanksi Pidana. Sanksi ini diberikan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran dan pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian terhadap pendapatan negara. Namun demikian, dengan berlakunya asas ultinum remedium, hukum pidana jadi upaya terakhir yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Hukum Pajak terbagi menjadi dua bagian
Pertama, hukum pajak materil, yaitu hukum pajak yang memuat aturan-aturan atau norma-norma tentang siapa yang menjadi objek pajak, siapa subjek pajak, dan berapa tarif pajak serta segala sesuatu yang berkaitan dengan timbul dan hapusnya utang pajak. Contoh, Pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
Kedua, hukum pajak formal, yaitu memuat prosedur untuk mewujudkan hukum pjak materil menjadi kenyataan. Contohnya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
Sejarah Hukum Pajak
Sejak zaman kerajaan di Nusantara, pajak sudah berlaku, yang lebih dikenal dengan istilah upeti.
Upeti biasanya dipungut oleh raja yang memililki kekuasaan atau kekuatan kepada raja lainnya yang sudah takhluk. Sehingga, upeti lebih condong untuk kepentingan penguasa, bukan untuk mensejahterakan masyarakat. Upeti bagaikan biaya keamaan yang bisa dibayarkan dengan hasil tanaman, ternak dan lain-lain.
Setelah kolonial masuk ke Nusantara, istilah pajak mulai dikenal. Perubahan istilah itu dikarenakan dengan adanya pergeseran paradigma. Tidak saja hanya untuk kepentingan para raja, tetapi juga untuk rakyat, seperti pembangunan jalan, fasilitas social, saluran air dan lain sebagainya.
Pengenaan pajak dimulai dengan pengenaan pajak tanah.Sejak Tanam Paksa yang menimbulkan perang Jawa pada tahun 1825-1830, Gubernur Jendral Raffles menyebut pajak atas tanah dengan istilah Landrent (sewa tanah).
Kemudian Landrent diganti menjadi Ladrente sejak Belanda kembali setelah berakhirnya penjajahan Inggris di Indonesia.
Pada tahun 1907 peraturan tentang Ladrente dikeluarkaan dan pada tahun 1939 diubah menjadi Ordonansi Ladrente. Pada masa penjajahan Jepang, istilah itu diganti dengan Pajak Tanah. Banyak peraturan yang dibuat silih berganti untuk mengatur perpajakan, apalagi dengan adanya tambhana pungutan, seperti pajak kekayaan, dan pajak pendapatan.
Di awal kemerdekan dibuatlah peraturan di bidang pajak, yaitu Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 sebagai dasar Pajak Peredaran (Barang). Dan pada tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn). Sistem terus berkembang sampai terbentuknya undang-undang modern
Pada tahun 1983 terbitlah undang-undang baru tentang perpajakan di Indonesia. Undang-undang peninggalan Belanda tidak berlaku lagi. Undang-undang yang diterbitkan itu adalah UU Nomor 6 tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), UU Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), UU Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan UU Nomor 13 tentang Bea Materai.
Perubahan-perubahan aturan terus terjadi sampai sekarang, seiring berkembangnya ekonomi digital dan ekonomi global.
Adagium terkait Hukum Pajak
Ada beberapa adagium yang terkait dengan peraturan-peraturan pajak, antara lain;
- Lex Specialis Derogate Lex Generalis, berlakunya hukum yang bersifat khusus, mengenyampingkan hukum yang bersifat umum. Apabila dalam peraturan khusus itu belum atau tidak mengatur sebuah ketentuan, maka yang berlaku adalah ketentuan umum.
- Mutatis Mutandis, menjalankan sesuatu sesuai dengan prosedur, namun apabila dalam keadaan mendesak, ada kewenangn untuk melakukan perubahan prosedur.
- Lex Psterior Derogate Priori, undang-undang yang baru mengganti undang-undang yang lama.
- Ultimum Remedium, sanksi pidana menjadi upaya terakhir dlam penegakkan hukum. Jadi apabila suatu perkara masih bisa ditempuh melalui jalur lain, seperti hukum perdata atau hukum administrasi maka hendaklah memakai jalur tersebut. Asas ini mengutamakan memulihkan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan.
Implementasi Hukum Pajak Berdasar UU Ciptaker
Dalam pelaksanaannya, hukum pajak melalui UU KUP jo. UU Ciptaker memberikan jaminan bagi wajib pajak menyelesaikan permasalahan pajak mereka melalui mekanisme pembayaran kerugian pada pendapatan negara beserta sanksinya untuk mengeliminasi pemidanaan dalam penegakkan hukum pidana di bidang perpajakan.
Jadi sebelum perkara pidana bidang perpajak dilimpahkan ke pengadilan, wajib pajak yang tersandung kasus pajak mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan perkaranya dengan membayarkan pajak terutang mereka beserta sanksi yang timbul. Setelah pelunasan dilakukan untuk kepentingan pendapatan Negara, maka atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan tersebut.
Apabila perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan, wajib pajak masih bisa menggunakan haknya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 UU KUP jo. UU Ciptaker, Pasal 39 UU KUP jo. UU Ciptaker, dan Pasal 39A UU KUP jo. UU Ciptaker.
Secara garis besar, wajib pajak yang bersedia melunasi atau membayarkan pajak terutang mereka beserta sanksi denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku, akan menjadi bahan pertimbangan di pengadilan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
Solus Populi Suprema Lex, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi
Biasa adigium ini diterapkan saat pemerintah akan mengeluarkan kebijakan yang bersifat darurat, seperti menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Contohnya Perppu No 2/2022 yanng diundangkan menjadi UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja, di mana terdapat klaster perpajakan di dalamnya.
Presumptio Iures de Iure, semua orang dianggap tahu hukum. Ketika suatu peraturan perundang-undangan sudah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu. Jadi tidak ada alasan bagi seseorang untuk bebas dari tuntutan hukum.
Nullum Delictum Noela Poena Sine Praevia Lege Poenali, hukum tidak bisa diterapkan atas peristiwa yang timbul sebelum ada aturan hukum yang mengatur tentang peristiwa tersebut. Adagium ini disebut juga sebagai asas legalitas. Asas ini juga berlaku dalam perpajakan, sesuai dengan amanah Konstitusi Pasal 23A UUD 1945.
Kesimpulan
Hukum pajak adalah landasan utama dalam sistem perpajakan di Indonesia. Dengan fungsi, jenis, dan sanksi yang diatur secara jelas, hukum pajak memastikan pemungutan pajak dilakukan secara adil dan transparan. Sebagai wajib pajak, memahami hukum pajak tidak hanya membantu memenuhi kewajiban, tetapi juga melindungi hak-hak kita sebagai warga negara.
Sejarah juga mencatat salah satu langkah penting pemerintah dalam sistem perpajakan, yaitu program pengampunan pajak atau tax amnesty. Program ini, yang diluncurkan pada tahun 2016, memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan harta yang belum terdeteksi dan membayar tebusan dengan tarif khusus.
Kebijakan ini mencerminkan upaya negara dalam membangun sistem perpajakan yang inklusif, transparan, dan adaptif terhadap perubahan.
Setelah kita memahami dasar hukum pajak, termasuk program pengampunan pajak, masyarakat dapat berkontribusi secara optimal dalam pembangunan bangsa.